Sabtu, 31 Januari 2009












HEDONISASI CALON WAKIL RAKYAT
Cerdas, Plagiator atau Boodoohh

MasyaAllah....,Sebuah baliho besar berdiri di pinggir jalan sebuah kota berukuran raksasa 20 x 25 m. Menutupi papan nama jalan dan menutupi rimbunnya pohon di dekatnya yang sudah berumur puluhan tahun. Baliho itu berisi foto setengah badan seorang caleg dan bertuliskan "Calon Wakil Rakyat dari Dapil 4 Kota M".
Hebat betul caleg itu. Begitu beraninya mengaku sebagai calon wakil rakyat dari wilayah tertentu. Padahal, jika jujur, boleh jadi sang caleg itu tidak tahu siapa nama-nama camat dan lurah di wilayah daerah pemilihan tersebut. Apalagi nama ketua RW dan RT, pasti sama sekali tidak tahu.

Namun, inilah wajah politik kita, khususnya cara politisi dan tim suksesnya melakukan marketing politik. Melalui iklan, baik di media massa maupun di media luar ruang (baliho dan spanduk), mereka lebih menawarkan dirinya (ego) ketimbang menawarkan program yang dipikirkannya bagi kepentingan rakyat.

Dampak Iklan

Iklan politik, baik di media massa maupun media lain, adalah bagian dari political marketing. Tujuannya memasarkan cita-cita politik guna memperoleh dukungan dari pemilih. Tetapi, realitas yang terjadi, iklan yang dipublikasikan itu acap cenderung berisi personality caleg. Bukan rencana-rencana yang bakal dikerjakan manakala dia terpilih. Yang terjadi ialah pesan-pesan yang bersifat narsis, yang membagus-baguskan dirinya sendiri.

Kenarsisan caleg yang beriklan seperti itu menunjukkan cara pintas mencari dukungan suara baginya. Padahal, dalam pemasaran politik terdapat sejumlah konsekuensi yang dihasilkannya.

Dalam perspektif ilmu komunikasi, iklan merupakan sebuah tindakan mentransfer informasi. Secara fungsional, transfer informasi itu diharapkan agar orang lain (publik) mengetahui pesan atau makna informasi tersebut.

Hanya, tindakan berkomunikasi bersifat dua arah (dyadic). Artinya, orang lain tidak serta merta dianggap kambing congek yang mudah diarahkan dengan makna informasi yang dibingkai dalam iklan tersebut.

Iklan juga menyimpan potensi dampak yang sifatnya disfungsional, yang berbeda atau malah berlawanan dari tujuan pengaruh yang diharapkan. Karena itu, iklan bisa memiliki dampak beragam. Iklan bisa membuat orang mendukung, orang berpikir, orang menolak mentah-mentah, atau mengabaikan sama sekali.

Bukan Segalanya

Dalam upaya meraup dukungan suara, iklan itu penting. Tetapi, iklan bukan segala-galanya. Sebab, fungsi iklan itu pada dasarnya hanya pada tataran "diketahui" belaka. Amat jauh dari keputusan seseorang untuk membuat keputusan memilih.

Proses transfer informasi lazimnya melalui beberapa tahap, sebelum pesan informasi itu diikuti penerima informasi (pemilih). Iklan sebagai pembawa informasi, pertama harus dilihat atau didengar (atau keduanya - audiovisual).

Kedua, apakah pesan itu bisa dipahami. Ketiga apakah pesan itu disetujui. Baru setelah pesan itu diterima (dilihat atau didengar), kemudian mudah dipahami, serta kemudian disetujui; maka iklan itu berpotensi untuk diikuti.

Jika iklan politik itu hanya menebar pesan "coblos atau contreng X no urutan S", bisa diduga hasilnya hanya berada pada tataran diketahui.

Itu pun kalau publik memperhatikannya. Di tengah arus iklan politik yang meluber seperti sekarang ini, tampaknya akan terjadi pengabaian atas pesan yang dibangun iklan politik.

Namun, sekali lagi, bukan berarti iklan politik tidak penting. Iklan politik penting dan harus ada. Persoalannya, bagaimana membuat iklan itu memiliki daya tarik yang bisa menyedot perhatian publik.

Dalam banyak pengalaman, iklan yang menarik itu adalah iklan yang memiliki keunggulan dibanding iklan yang lain. Nah, untuk membuat berbeda, tentu saja memerlukan proses kreatif. Jika iklan hanya menggunakan pesan model jalan pintas, langkah itu hanya akan mengeluarkan biaya sia-sia.

Banyak alternatif pendekatan dalam membuat sesuatu yang berbeda dari sebuah iklan. Mulai pendekatan isi (content), atribusi, dan sebagainya hingga pendekatan spin-doctor (menggunakan tokoh berpengaruh). Cara-cara semacam itu memiliki plus minus sendiri-sendiri.

Base on Riset

Taburan iklan politik sekarang ini merupakan kemajuan pesat dalam konteks proses pemilihan anggota legislatif. Paling tidak, kini publik menjadi lebih tahu calon-calon yang bakal dipilihnya (walau hanya foto diri dan bukan kualitas sebagai sosok wakil rakyat).

Beriklan politik adalah sah-sah saja. Tetapi, hendaknya caleg merumuskan cara beriklannya agar bisa terpilih. Satu hal yang sering diabaikan dalam beriklan politik ialah tiadanya proses kajian atau riset awal sebelum membuat keputusan iklan. Begitu juga tiadanya evaluasi atas praktik beriklannya.

Para caleg beriklan lebih disebabkan harapan berlebihnya bahwa dirinya menjadi sosok berpengaruh. Padahal, justru publiklah yang bakal memengaruhi caleg itu dipilih atau tidak. Fenomena iklan politik sekarang ini mengesankan caleg memaksa publik untuk melihat atau mendengar, serta mengikuti anjuran dirinya.

Mestinya sebaliknya, dengarkanlah keinginan mereka, baru kemudian penuhilah apa yang dia harapkan, walau hanya melalui pesan iklan.
_________

Yang masang gambar besar dan buwanyak berarti perhatiannya kepada rakyat nantinya berkurang, sebab.....duitnya udah habis bondoe entek tinggal mengembalikan hutang, nyedot duwik rakyat "korupsi" mbalikno bondo...
Intinya iklan politik nggak penting, mubadzir dan muspro banget mending belikan dawett, wedang kopi, sego pecel rakyat wareg dan happy....ok
Plagiator by. Anderson

Senin, 05 Januari 2009

[ Minggu, 15 Maret 2009 ]
Tak Nyaleg karena Takut Kalah
JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta merupakan salah seorang fungsionaris Partai Golkar yang tak lagi mencalonkan diri pada Pemilu 2009. Namun, siapa sangka alasan Paskah untuk tidak ikut dalam pesta demokrasi lima tahunan itu disebabkan takut kalah.

"Kalau kalah, saya malu," seloroh Paskah di sela sosialisasi UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional di Kantor KPU, Jakarta, kemarin (14/3).

Paskah mengakui sudah empat kali berpartisipasi dalam pemilu. Dari partisipasi itu, dia selalu lolos sebagai anggota DPR. Dia menganggap, potensi kalah pada tahun ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan empat pemilu sebelumnya. "Kalau dulu pakai nomor (urut), bisa lebih mudah. Lagi pula, untuk apa jadi calon lagi, sudah jadi menteri," ujarnya disambut tawa para tamu undangan partai.

Namun, Paskah menuturkan, keengganannya ikut caleg disebabkan ketentuan Partai Golkar. Di dalam partainya, tidak diperbolehkan mengajukan caleg lebih dari tiga kali. "Saya sudah empat kali jadi caleg, sudah melebihi," kata mantan ketua Komisi XI DPR itu.

Paskah sebelumnya aktif di Komisi IX DPR yang membidangi keuangan dan perencanaan pembangunan. Dia sudah empat periode duduk sebagai anggota DPR dari Golongan Karya. Pada 1992-1997, Paskah duduk di komisi IV, 1997-1999 di komisi III.

Pada periode 1999-2004, Paskah tampil sebagai anggota komisi IX (keuangan dan perencanaan pembangunan). (bay/agm)

Lho...masih ada yang punya malu ternyata....